Rabu, 16 Februari 2011

0 komentar
KEDAI SAMBAL X'TRA HOT
SEMUA LOKASI :
KS ( Jakal ) . Jl. Kaliurang Km. 6.5 YOGYAKARTA, KS ( Seturan ) . Jl. Perumnas No. 292 ( Utara Selokan Mataram ) YOGYAKARTA, KS ( Simanjuntak ) . Jl. C. Simanjuntak No. 64 ( Selatan Mirota Kampus ) YOGYAKARTA - Telp.+62 274 7182211 ( KS Jakal ), +62 274 7454222 ( KS Seturan ), +62 274 3152211 ( KS Simanjuntak )

Senin, 01 Maret 2010

0 kilometer

0 komentar


Orang-orang sering menyebut tempat ini dengan sebutan 0 kilometer. Karena memang 0 kilometer kemanapun entah ke paris ataupun kaliurang. Kawasan yang sering dijadikan nongkrong anak muda di malam hari memang memberikan suasana lain untuk orang yang singgah sekedar melepas penat.

Coba untuk menikmati tempat tersebut dan tentunya harus ke jogja. Sering juga dipake syuting FTV di SCTV.datang pas malem ama orang spesial tambah enak tuh.
0 komentar

Jika Anda melewati jalan I Nyoman Oka di tepi Kali Code pada malam hari, terlebih pukul 22.00 ke atas, yang tampak adalah kumpulan muda-mudi duduk lesehan yang memenuhi trotoar, baik di kiri maupun kanan jalan. Di trotoar tepi Kali Code berderet warung makan lesehan. Anak-anak muda ini menikmati kuliner murah meriah ini di dua sisi barat dan timur. Hampir bisa dipastikan, pada jam-jam seperti ini, apalagi pada malam Minggu, Anda sulit mendapat tempat untuk ikut ‘berkongko-kongko’.

Sulit dibayangkan pada 2005 kawasan ini akan seramai seperti sekarang. Pada masa itu hanya ada satu lampu jalanan yang menyala. Gelap dan sunyi. Tak heran jika kawasan ini dulu dikenal sebagai sarang begal. Meski demikian lantaran temaram dan sepi pula, tempat ini juga didatangi orang-orang yang berpacaran.

Bagaimana kisahnya bisa seramai sekarang? Dimulai dari gagasan jeli Mara, remaja dari Kampung Ledhok Tukangan yang sering ‘nongkrong’ di kawasan ini, untuk menjual jagung bakar bagi anak-anak muda yang berpacaran di sini. Sekitar Juni 2005, bersama tiga kawannya, ia mulai berjualan jagung bakar sebagai pedagang satu-satunya di tepi Kali Code. Mereka berjualan sejak maghrib hingga sekitar pukul 11 malam. Perkembangannya lumayan. Sehari mereka bisa menjual 50an buah jagung, dimulai dari hanya mendapat Rp 25 ribu pada hari pertama kemudian memperoleh sekitar Rp 150 ribu. Tapi usaha mereka tidak bertahan lama, hanya sampai Agustus. Penyebabnya antara lain, alat bakar jagung yang ditinggal mereka gara-gara hujan, paginya dibawa Satpol PP. Selain lantaran teman-temannya juga tidak berminat meneruskan usaha ini.
Matinya usaha ini ternyata menumbuhkan keberanian orang lain untuk membuka jasa makanan di kawasan rawan ini. Di depan Akprind, Pak Lukman kemudian membuka lesehan dengan menu singkong dan teh poci. Lantas di bekas tempat berjualan jagung, seorang lagi membuka warung bakso. Di sebelahnya, Pak Edi menyusul membuka warung makanan dan minuman sederhana. Setelah warung bakso tutup, Pak Yono, ipar penjual bakso ini, membuka warung serupa. Dan terutama sejak awal 2006, warung-warung lesehan tumbuh bak jamur di musim hujan, utamanya antara depan Balai Bahasa hingga depan Gedung Bimo.

Keberadaan mereka menjadi legal setelah bertemu dengan pihak Kecamatan, didaftar dan diberi surat izin. Di antara belasan warung ini, ada sekitar 14 warung yang memegang surat izin. Kawasan ini pun menjadi marak, sejak maghrib hingga pukul 2 pagi, bahkan pada malam Minggu, bisa sampai pukul 5 pagi. Tidak hanya pedagang makanan yang diuntungkan. Juga pedagang asongan rokok dan permen. Menurut Sandi, salah seorang penjual asongan, ia mendapat penghasilan sekitar Rp 100-200 ribu per malam. Ia dan 7 orang kawannya membentuk perkumpulan untuk membatasi jumlah pengasong di daerah ini.

Malam itu Tembi menikmati teh poci bergula batu, kopi joss dan sepiring nasi tempe penyet di Warung Pak Dhe, milik Pak Yono (44 tahun). ‘Pak Dhe’ adalah nama yang diberikan para pelanggannya yang memang memanggilnya dengan sebutan ‘Pakde’. Tembi melihat bahwa hubungan Pak Yono dengan pembelinya cukup akrab. Warga Ledok Tukangan ini mengaku, ia membuka usaha ini bukan sekadar berjualan tapi juga memperluas persaudaraan (kadhang). Memang asyik berbincang-bincang dengan Pak Yono. Selain soal bisnis kuliner di kawasan ini, ia banyak bercerita soal kejawaan.

Sungguh rileks menyeruput teh poci, diterpa hembusan semilir angin yang sejuk, sambil memandang titik-titik cahaya lampu rumah-rumah kampung di bawah. Teh pocinya cukup sepet, jadi mantap di lidah. Kopi joss, yakni kopi yang dicemplungi arang panas, juga nikmat. Harganya murah meriah. Kopi joss Rp 2.500, nasi tempe penyet Rp 3.500, dan teh poci gula batu Rp 5.000. Dengan harga murah meriah tersebut, toh warung ini mampu meraup pendapatan Rp 300-400 ribu per malam, bahkan bisa Rp 600.000 pada malam Minggu.

Menu warung-warung di tepi Kali Code ini nyaris sama. Ada roti bakar, nasi goreng, sego kucing, mi goreng/rebus, tempe/tahu, ayam goreng, sate usus, dll. Minumannya ada teh, jeruk, kopi, jahe, susu, coklat, dll. Anda bisa berlama-lama di sini, menikmati sentuhan keramahan alam di tengah kota, tanpa merogoh kocek terlalu dalam.

Mara (22 tahun), mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Sanata Dharma, kini menyuplai es untuk lima warung di tepi Kali Code ini. Ia tidak lagi berjualan jagung bakar atau membuka warung di sini. Mungkin ia tidak menyadari bahwa inisiatifnya merintis usaha kuliner di kawasan tepi Kali Code dulu adalah upaya membuka jalan bagi rangkaian lapangan kerja di daerah ini. Hal yang tidak terbayangkan akan terjadi pada tahun 2005 dan sebelumnya.

Kopi JOss (Bakaran Areng)

0 komentar

Tahukah anda sebuah tempat di Yogyakarta tempat mahasiswa, komunitas cyber seperti blogger dan chatter, wartawan, seniman, budayawan, tukang becak, hingga penjaja cinta bisa berbincang santai? Jika anda pernah belajar di Yogyakarta, dimana anda dulu berembug bersama teman tentang tema skripsi atau tugas sekolah? Di antara sekian tempat yang anda sebutkan, pasti angkringan Lik Man yang terletak di sebelah utara Stasiun Tugu menjadi salah satunya. Wajar, sebab tempat itu telah menjadi favorit banyak orang.

YogYES mengajak anda untuk menikmati nuansa Angkringan Lik Man yang pernah dirasakan oleh banyak orang. Anda bisa berjalan ke utara dari arah Malioboro atau Stasiun Tugu hingga menemukan jalan kecil ke arah barat, kemudian berbelok. Anda akan menemukan angkringan yang dimaksud tak jauh dari belokan, tepatnya di sebelah kiri jalan. Cirinya, ada dua buah bakul yang dihubungkan dengan bambu, anglo dengan arang yang membara, serta deretan gelas yang ditata.

Angkringan Lik Man merupakan angkringan legendaris, sebab pedagangnya adalah generasi awal pedagang angkringan di Yogyakarta yang umumnya berasal dari Klaten. Lik Man yang bernama asli Siswo Raharjo merupakan putra Mbah Pairo, pedagang angkringan pertama di Yogyakarta yang berjualan sejak tahun 1950-an. Warung berkonsep angkringan yang dulu disebut 'ting ting hik' diwariskan kepada Lik Man tahun 1969. Sejak itu, menjamurlah angkringan-angkringan lain.

Begitu sampai di angkringan yang buka pukul 18.00 ini, anda bisa memesan bermacam minuman yang ditawarkan, panas maupun dingin. Pilihan minuman favorit adalah Kopi Joss, kopi yang disajikan panas dengan diberi arang. Kelebihan kopi itu adalah kadar kafeinnya yang rendah karena dinetralisir oleh arang. Tak usah khawatir itu hanya mitos, sebab Kopi Joss lahir dari penelitian mahasiwa Universitas Gadjah Mada yang kebetulan sering nongkrong di Angkringan Lik Man.

Berbagai makanan juga disediakan, ada sego kucing berlauk oseng tempe dan sambal teri hingga gorengan dan jadah (makanan dari ketan yang dipadatkan berasa gurih) bakar. Sego kucing di Angkringan Lik Man yang harganya Rp 1.000,00 tak kalah lezat dengan masakan lainnya sebab nasinya pulen dan oseng tempe dan sambal terinya berbumbu pas. Menikmati sego kucing yang selalu disajikan dalam keadaan hangat dengan lauk gorengan atau sate telur selain lezat juga tak menguras uang.

Jika menjumpai makanan dalam keadaan dingin, anda dapat meminta penjual untuk menghangatkannya dengan cara dibakar. Lauk pauk yang menjadi lebih lezat ketika dibakar adalah mendoan (tempe goreng tepung), tahu susur, tempe bacem, endas (kepala ayam) dan tentu saja jadah. Bila tak nyaman makan dengan bungkus nasi saja atau anda makan dalam jumlah banyak, penjual angkringan menyediakan piring untuk menyamankan acara makan anda.

Anda bisa memilih tempat duduk di dua tempat yang disediakan. Jika ingin berbincang dengan pedagang, anda bisa duduk di dekat bakul atau anglo. Selain dapat bercerita dengan Lik Man, duduk di dekat bakul akan mempermudah jika ingin tambah makanan. Tetapi bila ingin lebih berakraban dengan teman, anda bisa duduk di tikar yang digelar memanjang di trotoar seberang jalan. Tak perlu khawatir ruang yang tidak cukup sebab panjang trotoar yang digelari tikar hampir 100 meter.

Sambil duduk, anda diberi kebebasan untuk berbicara apapun. Orang-orang yang sering datang ke angkringan ini membicarakan berbagai hal, mulai tema-tema serius seperti rencana demostrasi dan tema edisi di majalah mahasiswa hingga yang ringan seperti kemana hendak liburan atau sekedar tertawaan tak jelas yang sering disebut dengan gojeg kere. Tak ada larangan formal, tetapi yang jelas perlu menjaga budaya angkringan, yaitu tepo sliro (toleransi), kemauan untuk berbagi dan biso rumongso (menjaga perasaan orang lain). Bisa diartikan tak perlu berebut tempat dan menghargai orang lain yang duduk berdekatan.

Sejumlah tokoh terpandang telah menjadikan Angkringan Lik Man sebagai tempat menikmati malam. Ada Butet Kertarajasa, Djaduk Ferianto, Emha ainun Nadjib, Bondan Nusantara hingga Marwoto. Maka, tak seharusnya anda melewatkan suasana malam kota Yogyakarta tanpa berkunjung ke Angkringan Lik Man. Nikmatilah nuansa yang pernah dinikmati oleh banyak orang Yogyakarta dan sejumlah tokoh yang disebut di atas.

Angkringan Khas JOgja dan Sekitarnya

0 komentar

Apa yang anda lakukan ketika merasa suntuk sekaligus lapar, jenuh dengan aktifitas sehari-hari dan ingin melepas penat tanpa merogoh kocek terlalu dalam? Jika anda tinggal atau kos di Jogja, entah itu kuliah atau bekerja, anda tentu sudah tidak asing dengan yang namanya “angkringan” bukan? Ya, angkringan bisa kita temukan di mana saja di sepanjang jalan yang ada di Jogja. Kita juga bisa menemukannya di Solo, hanya saja namanya berbeda. Di Solo sebutannya “hik”. Ada yang mengatakan itu kepanjangan dari “hidangan istimewa kampung”. Sedangkan angkringan berasal dari kata bahasa Jawa “angkring” yang artinya duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke kursi. Yang jelas angkringan Jogja dan hik Solo tidak jauh berbeda ciri-cirinya. Malam ini Jogja cerah sekali cuacanya. Rembulan terlihat setengah lingkaran, seperti semangka keemasan melayang di langit malam yang hitam. Saya ingin menikmatinya sambil ngangkring si dekat kosan saya di daerah Sagan, tepatnya di jalan Herman Yohanes. Ada yang belum pernah ngangkring? Waa..kemana saja mbak?

Angkringan adalah semacam warung makan yang berupa gerobag kayu yang ditutupi dengan kain terpal plastik dengan warna khas, biru atau oranye menyolok. Dengan kapasitas sekitar 8 orang pembeli, angkringan beroperasi mulai sore hari sampai dini hari. Namun kini ada juga yang mulai buka siang hari. Pada malam hari, angkringan mengandalkan penerangan tradisional senthir dibantu terangnya lampu jalan.

Makanan khas yang dijual meliputi nasi kucing, gorengan, sate usus (ayam), sate telor puyuh, kripik dan lain-lain. Nasi kucing (dalam bahasa Jawa disebut “sega kucing“) bukanlah suatu menu tertentu, tetapi lebih pada cara penyajian nasi bungkus yang banyak ditemukan pada angkringan. Dinamakan “nasi kucing” karena disajikan dalam porsi yang (sangat) sedikit, seperti menu untuk pakan kucing. Bagi kaum laki-laki mungkin bisa menghabiskan 3-5 bungkus. Saya saja yang perempuan, pernah menghabiskan 4 bungkus. Entah karena nasinya memang enak atau saya yang doyan makan, saya sendiri bingung. Minuman yang dijual pun beraneka macam seperti teh, es jeruk, kopi, wedang tape, wedang jahe, susu, atau campuran beberapa yang anda suka. Semua dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Tapi sekarang kalau dirasa-rasa, harga hidangan angkringan ikut melambung gara-gara kenaikan harga BBM 24 Mei 2008 lalu. Tetapi teap saja angkringan banyak penggemar.

Mungkin hampir setiap 100 meteran, kita dapat menemukan angkringan. Bagaimana awalnya usaha ini bisa begitu menjamur di Jogja? Sebagai mahasiswa yang cukup hobi ngangkring, saya kerap mengobrol dengan pedagangnya setiap kali ngangkring. Ternyata setiap kali saya tanya “Pak njenengan asline king pundi?”, jawabannya hampir selalu sama, “Kula king Klaten, Mbak”. Pedagang angkringan di Jalan Herman Yohanes tempat saya biasa membeli jasu (jahe susu) pernah saya tanya, “Wis suwe po Mas bukak angkringan?”, dan dia menjawab, “Lha wong mbahku wae bukak angkringan kok, Mbak”. Sebenarnya sejak kapan angkringan muncul di Jogja?

Sejarah angkringan di Jogja merupakan sebuah romantisme perjuangan menaklukan kemiskinan. Angkringan di Jogjakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950-an. Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke kota. Ya, ke sini, ke Jogjakarta.

Mbah Pairo bisa disebut pionir angkringan di Jogjakarta. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi. Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota Jogja. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh Jogja, bahkan di luar Jogja.

Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, diawal kemunculannya angkringan menggunakan pikulan sebagai alat sekaligus center of interest. Bertempat di emplasemen Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya. Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting-ting hik (baca: hek). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung. Sebutan hik sendiri masih ditemui di Solo hingga saat ini, tetapi untuk di Jogja istilah angkringan lebih populer. Demikian sejarah angkringan di Jogjakarta bermula.

Boleh jadi angkringan merupakan stereotipe kaum marjinal berkantung cekak yang beranggotakan sebagian mahasiswa, tukang becak dan buruh maupun karyawan kelas bawah. Namun, peminat angkringan kini bukan lagi kaum marjinal yang sedang dilanda kesulitan keuangan saja, tetapi juga orang berduit yang bisa makan lebih mewah di restoran.

Dari semua angkringan yang pernah saya coba, saya jatuh cinta pada jadah bakar dan teh nasgitel (panas, legi, kentel) racikan Lik Man, angkringan legendaris Jogja. tidak jarang warung angkring Lik Man kedatangan orang-orang terkenal dari berbagai jenis pekerjaan. Djadug Feriyanto misalnya, kakak kandung Butet Kartaradjasa yang juga leader kelompok musik Sinten Remen ini pun jatuh cinta kepada angkringan Lik Man di Stasiun Tugu sana. Tidak hanya Djadug, beberapa sastrawan, budayawan, atau olahragawan ternama seperti Cak Nun (Emha Ainun Najib), Butet Kartaradjasa, Marwoto Kawer hingga Jammie Sandoval pemain PSIM asal Chilie pun sering meluangkan waktu malamnya untuk jajan di angkringan. Menyenangkan sekali melepas kepenatan bersama teman atau orang lain yang baru ketemu disana, lalu ngobrol ngalor-ngidul, gojeg kere, main plesetan kata-kata, menggoda bencong lewat, sampai tertawa lepas melepaskan beban pikiran. Tak perlu minder dengan apa status anda, karena di angkringan semuanya adalah sama

Wijilan, Sentra Gudeg Jogja

0 komentar


Menyebut gudeg Jogja, otomatis ingatan kita akan tertuju pada sebuah kampung yang terletak di sebelah timur Alun-alun Utara Kraton Jogja. Dari kampung inilah, masakan khas yang berbahan dasar ‘gori’ ini menjadi populer hingga seantero dunia. Tak heran wisatawan yang berkunjung ke Jogja rasanya kurang lengkap jika belum menyantap gudeg di tempat ini.

Warung gudeg yang berderet di sebelah selatan Plengkung Tarunasura (Plengkung Wijilan) ini memiliki sejarah panjang. Ibu Slamet adalah orang pertama yang merintis usaha warung gudeg di tahun 1942. Beberapa tahun kemudian warung gudeg di daerah itu bertambah dua, yakni Warung gudeg Campur Sari dan Warung Gudeg Ibu Djuwariah yang kemudian dikenal dengan sebutan Gudeg Yu Djum yang begitu terkenal sampai sekarang.

Ketiga warung gudeg tersebut mampu bertahan hingga 40 tahun. Sayangnya, tahun 1980’an Warung Campur Sari tutup. Baru 13 tahun kemudian muncul satu lagi warung gudeg dengan label Gudeg Ibu Lies. Dan sampai sekarang, warung gudeg yang berjajar di sepanjang jalan Wijilan ini tak kurang dari sepuluh buah.

Gudeg Wijilan memang bercita rasa khas, berbeda dengan gudeg pada umumnya. Gudegnya kering dengan rasa manis. Cara memasaknya pun berbeda, buah nangka muda (gori) direbus di atas tunggu sekitar 100 derajat celcius selama 24 jam untuk menguapkan kuahnya.

Sebagai lauk pelengkap, daging ayam kampung dan telur bebek dipindang yang kemudian direbus. Sedangkan rasa pedas merupakan paduan sayur tempe dan sambal krecek.

Ketahanan gudeg Wijilan ini memang cocok sebagai oleh-oleh, karena merupakan gudeg kering, maka tidak mudah basi dan mampu bertahan hingga 3 hari. Tak heran jika gudeg dari Wijilan ini sudah “terbang” ke berpabagi pelosok tanah air, bahkan dunia.

Harganya pun variatif, mulai dari Rp 20.000,- sampai Rp 100.000,-, tergantung lauk yang dipilih dan jenis kemasannya. Bahkan ada yang menawarkan paket hemat Rp 5.000, dengan lauk tahu, tempe, dan telur.

Seperti kemasan gudeg-gudeg di tempat lain, oleh-oleh khas Jogja ini dapat dikemas menarik dengan menggunakan ‘besek’ (tempat dari anyaman bambu) atau menggunakan ‘kendil’ (guci dari tanah liat yang dibakar). Yang lebih unik, beberapa penjual gudeg Wijilan ini dengan senang hati akan memperlihatkan proses pembuatan gudegnya jika pengunjung menghendaki.

Bahkan, di warung Gudeg Yu Djum menawarkan paket wisata memasak gudeg kering bagi Anda yang ingin memasak sendiri. Anda akan mendapat arahan langsung dari Yu Djum. Seharian penuh Anda akan belajar membuat gudeg, dari mulai merajang ‘gori’, meracik bumbu, membuat telur pindang, sampai mengeringkan kuah gudeg di atas api.

Melengkapi sajian nasi gudeg Wijilan akan lebih pas disertai minuman the poci gula batu. Dijamin Anda akan ketagihan.(Jo)