Senin, 01 Maret 2010


Jika Anda melewati jalan I Nyoman Oka di tepi Kali Code pada malam hari, terlebih pukul 22.00 ke atas, yang tampak adalah kumpulan muda-mudi duduk lesehan yang memenuhi trotoar, baik di kiri maupun kanan jalan. Di trotoar tepi Kali Code berderet warung makan lesehan. Anak-anak muda ini menikmati kuliner murah meriah ini di dua sisi barat dan timur. Hampir bisa dipastikan, pada jam-jam seperti ini, apalagi pada malam Minggu, Anda sulit mendapat tempat untuk ikut ‘berkongko-kongko’.

Sulit dibayangkan pada 2005 kawasan ini akan seramai seperti sekarang. Pada masa itu hanya ada satu lampu jalanan yang menyala. Gelap dan sunyi. Tak heran jika kawasan ini dulu dikenal sebagai sarang begal. Meski demikian lantaran temaram dan sepi pula, tempat ini juga didatangi orang-orang yang berpacaran.

Bagaimana kisahnya bisa seramai sekarang? Dimulai dari gagasan jeli Mara, remaja dari Kampung Ledhok Tukangan yang sering ‘nongkrong’ di kawasan ini, untuk menjual jagung bakar bagi anak-anak muda yang berpacaran di sini. Sekitar Juni 2005, bersama tiga kawannya, ia mulai berjualan jagung bakar sebagai pedagang satu-satunya di tepi Kali Code. Mereka berjualan sejak maghrib hingga sekitar pukul 11 malam. Perkembangannya lumayan. Sehari mereka bisa menjual 50an buah jagung, dimulai dari hanya mendapat Rp 25 ribu pada hari pertama kemudian memperoleh sekitar Rp 150 ribu. Tapi usaha mereka tidak bertahan lama, hanya sampai Agustus. Penyebabnya antara lain, alat bakar jagung yang ditinggal mereka gara-gara hujan, paginya dibawa Satpol PP. Selain lantaran teman-temannya juga tidak berminat meneruskan usaha ini.
Matinya usaha ini ternyata menumbuhkan keberanian orang lain untuk membuka jasa makanan di kawasan rawan ini. Di depan Akprind, Pak Lukman kemudian membuka lesehan dengan menu singkong dan teh poci. Lantas di bekas tempat berjualan jagung, seorang lagi membuka warung bakso. Di sebelahnya, Pak Edi menyusul membuka warung makanan dan minuman sederhana. Setelah warung bakso tutup, Pak Yono, ipar penjual bakso ini, membuka warung serupa. Dan terutama sejak awal 2006, warung-warung lesehan tumbuh bak jamur di musim hujan, utamanya antara depan Balai Bahasa hingga depan Gedung Bimo.

Keberadaan mereka menjadi legal setelah bertemu dengan pihak Kecamatan, didaftar dan diberi surat izin. Di antara belasan warung ini, ada sekitar 14 warung yang memegang surat izin. Kawasan ini pun menjadi marak, sejak maghrib hingga pukul 2 pagi, bahkan pada malam Minggu, bisa sampai pukul 5 pagi. Tidak hanya pedagang makanan yang diuntungkan. Juga pedagang asongan rokok dan permen. Menurut Sandi, salah seorang penjual asongan, ia mendapat penghasilan sekitar Rp 100-200 ribu per malam. Ia dan 7 orang kawannya membentuk perkumpulan untuk membatasi jumlah pengasong di daerah ini.

Malam itu Tembi menikmati teh poci bergula batu, kopi joss dan sepiring nasi tempe penyet di Warung Pak Dhe, milik Pak Yono (44 tahun). ‘Pak Dhe’ adalah nama yang diberikan para pelanggannya yang memang memanggilnya dengan sebutan ‘Pakde’. Tembi melihat bahwa hubungan Pak Yono dengan pembelinya cukup akrab. Warga Ledok Tukangan ini mengaku, ia membuka usaha ini bukan sekadar berjualan tapi juga memperluas persaudaraan (kadhang). Memang asyik berbincang-bincang dengan Pak Yono. Selain soal bisnis kuliner di kawasan ini, ia banyak bercerita soal kejawaan.

Sungguh rileks menyeruput teh poci, diterpa hembusan semilir angin yang sejuk, sambil memandang titik-titik cahaya lampu rumah-rumah kampung di bawah. Teh pocinya cukup sepet, jadi mantap di lidah. Kopi joss, yakni kopi yang dicemplungi arang panas, juga nikmat. Harganya murah meriah. Kopi joss Rp 2.500, nasi tempe penyet Rp 3.500, dan teh poci gula batu Rp 5.000. Dengan harga murah meriah tersebut, toh warung ini mampu meraup pendapatan Rp 300-400 ribu per malam, bahkan bisa Rp 600.000 pada malam Minggu.

Menu warung-warung di tepi Kali Code ini nyaris sama. Ada roti bakar, nasi goreng, sego kucing, mi goreng/rebus, tempe/tahu, ayam goreng, sate usus, dll. Minumannya ada teh, jeruk, kopi, jahe, susu, coklat, dll. Anda bisa berlama-lama di sini, menikmati sentuhan keramahan alam di tengah kota, tanpa merogoh kocek terlalu dalam.

Mara (22 tahun), mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Sanata Dharma, kini menyuplai es untuk lima warung di tepi Kali Code ini. Ia tidak lagi berjualan jagung bakar atau membuka warung di sini. Mungkin ia tidak menyadari bahwa inisiatifnya merintis usaha kuliner di kawasan tepi Kali Code dulu adalah upaya membuka jalan bagi rangkaian lapangan kerja di daerah ini. Hal yang tidak terbayangkan akan terjadi pada tahun 2005 dan sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar